A.
LATAR BELAKANG
sejarah
kebudayaan Islam sangat penting untuk kita pelajari,karena dengan
mempelajarinya kita akan diajak untuk berpikir historis dan memperoleh
pemahaman bagaimana perkembangan sejarah kebudayaan di dunia Islam. Selama
manusia masih memiliki rasa ingin tahu terhadap peristiwa masa lalu, selama itu
pula akan terasa perlunya mempelajari sejarah. Dari peristiwa-peristiwa
tersebut, kita dapat bercermin dan menilai perbuatan yang merupakan
keberhasilan dan kegagalan. Dengan mengetahui sejarah, kita akan lebih
mempersiapkan diri untuk meraih keberhasilan dan akan lebih berhati-hati agar
kegagalan itu tidak terulang kembali.
Sejarah
merupakan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, ia merupakan
tempat belajar bagi para generasi penerus agar dapat memandang ke masa silam, melihat ke masa kini, dan
menatap ke masa depan. Al- Qur’an adalah kitab suci yang merupakan pedoman
hidup umat Islam yang telah memerintahkan umatnya untuk memperhatikan sejarah.
Beberapa ayat Al-Qur’an dengan jelas memerintahkan hal itu. Di antaranya adalah
sebagai berikut.
Artinya :”
Dan tidaklah mereka berpergian dimuka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat
dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta
memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan, dan telah
datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas.
Maka Allah samasekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri sendiri.” (Q.S. Ar-Ruum [30] :9]
Dari
penjelasan ayat tersebut jelaslah bagaimana Islam mengajarkan pentingnya
mempelajari sejarah, maka jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dan salah satu sejarah peradapan islam yang
perlu kita ketahui adalah menyebarnya islam dalam spektrum yang luas. Tiga
benua lama -Asia, Afrika, dan Eropa-pernah merasakan rahmat dan keadilan dalam
naungan pemerintahan Islam. Tidak terkecuali Spanyol (Andalusia). Ini negeri di
daratan Eropa yang pertama kali masuk dalam pelukan Islam di zaman Pemerintahan
Kekhalifahan Bani Umaiyah.
Masuknya islam
ke negri spanyol tidak terlepas dari dakwah dan jihadnya seorang panglima
perang thariq bin ziyad. Oleh karenanya dalam makalah ini akan memapaparkan
sebuah kisah perjuangan thariq bin ziyad dalam menaklukkan spanyol dengan
harapan kita dapat memperoleh pengalaman
mengenai peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masa itu.
B.
ISI
1. Pengenalan Thariq Bin Ziyad
Bagian ini akan
menyinggung secara sepintas seputar biografi Thāriq ibn Ziyād. Dia adalah
seorang mawlā (budak yang dimerdekakan) Mûsā ibn Nushayr, karena Thāriq memang
masuk Islam di tangannya.Ia lahir di salah satu kota di Maghrib (Maroko),
sekitar tahun 50-an pada abad pertama hijrah. Tepatnya di masa ‘jendral’ Arab
(Muslim) yang bernama ‘Uqbah ibn Nāfi‘ al-Fihrî di negeri Maroko. Mengenai
nasabnya, Ibn ‘Idzārî mengutip pendapat Shālih ibn Abî Shālih bahwa nama
lengkapnya adalah: Thāriq ibn Ziyād ibn ‘Abdillāh. Ayahnya yang bernama Ziyād
memeluk Islam pada masa ‘Uqbah ibn Nāfi‘ dan keislamannya sangat baik.
Kemudian, keislamannya yang baik tersebut diwarisi oleh Thāriq yang akhirnya
berbakti (khidmah) kepada para pemimpin Arab-Muslim.
Ia lahir pada
sekitar tahun 50 H dan wafat tahun 102 H/670-720 M. Usai pembebasan Thanjah
(Tingi), Mûsā ibn Nushayr mengangat Thāriq sebagai gubernur Tingi sampai tahun
92 H.
2.
Keadaan Spanyol Sebelum Ditaklukkan Islam
Eropa pada waktu itu hidup dalam masa-masa
kebodohan dan keterbelakangan yang luar biasa yang sering disebut dengan masa
kegelapan (dark age). Kezaliman adalah sistem yang berlaku disana, sehingga
mereka mengalami degradasi moral.
Sejak tahun 597 M, Spanyol dikuasai bangsa Gotic,
Jerman. Raja Roderick yang berkuasa saat itu. Ia berkuasa dengan lalim.
Ia membagi masyarakat Spanyol ke dalam lima kelas sosial.
Kelas pertama
adalah keluarga raja, bangsawan, orang-orang kaya, tuan tanah, dan para
penguasa wilayah.
Kelas kedua
diduduki para pendeta.
Kelas ketiga
diisi para pegawai negara seperti pengawal, penjaga istana, dan pegawai kantor
pemerintahan. Mereka hidup pas-pasan dan diperalat penguasa sebagai alat
memeras rakyat.
Kelas keempat
adalah para petani, pedagang, dan kelompok masyarakat yang hidup cukup lainnya.
Mereka dibebani pajak dan pungutan yang tinggi.
Dan kelas kelima
adalah para buruh tani, serdadu rendahan, pelayan, dan budak. Mereka paling
menderita hidupnya.
Akibat
klasifikasi sosial itu, rakyat Spanyol tidak kerasan. Sebagian besar mereka hijrah ke Afrika Utara. Di
sini di bawah Pemerintahan Islam yang dipimpin Musa bin Nusair, mereka
merasakan keadilan, kesamaan hak, keamanan, dan menikmati kemakmuran. Para
imigran Spanyol itu kebanyakan beragama Yahudi dan Kristen. Bahkan, Gubernur
Ceuta, bernama Julian, dan putrinya Florinda -yang dinodai Roderick-ikut
mengungsi.
3.
Awal Penaklukan Spanyol
Melihat kezaliman itu, Musa bin Nusair berencana
ingin membebaskan rakyat Spanyol sekaligus menyampaikan Islam ke negeri itu.kemudian
ia meminta izin kepada Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik dan khalifahpun memberinya
izin. Lalu Musa segera mengirim tharif bin
Malik yang memiliki nama panggilan Abu Zur’ah dengan 400 pasukan pejalan
kaki dan 100 orang pasukan berkuda menyeberangi selat antara Afrika Utara dan
daratan Eropa, pasukan ini mempunyai misi untuk mempelajari wilayah andalusia
selatan dimana kaum muslimin akan berlabuh dikemudian hari.
Kamis, 4 Ramadhan 91 Hijriah atau 2 April 710
Masehi, Abu Zar’ah meninggalkan Afrika Utara menggunakan 8 kapal dimana 4 buah
adalah pemberian Gubernur Julian. Tanggal 25 Ramadhan 91 H atau 23 April 710 H,
di malam hari pasukan ini mendarat di sebuah pulau kecil dekat Kota Tarife yang
menjadi sasaran serangan pertama.
Di petang harinya, pasukan ini berhasil menaklukan
beberapa kota di sepanjang pantai tanpa perlawanan yang berarti. Padahal jumlah
pasukan Abu Zar’ah kalah banyak. Setelah penaklukan ini, Abu Zar’ah pulang.
Keberhasilan ekspedisi Abu Zar’ah ini membangkitkan semangat Musa bin Nusair
untuk menaklukan seluruh Spanyol. Maka,setahun setelah misi intelejen yang
dipimpin tharif bin Malik ia
memerintahkan Thariq bin Ziyad membawa pasukan yang berjumlah 7000 pasukan untuk
penaklukan yang kedua.
4.
Peristiwa pembakaran kapal
Senin, 3 Mei 711 M, Thariq membawa 7.000
pasukannya menyeberang ke daratan Eropa dengan kapal menyebrangi selat yang
kemudian hari dikenal dengan nama selat Jabal Thariq (Gibraltar),itu karena
ketika menyebrangi selat itu ia berhenti di sebuah gunung dan gunung itupun
dikenal dengan “jabal Thariq”(gunung gibraltar). Di bukit itu ia mengumpulkan
seluruh pasukannya Lalu memerintahkan pasukannya membakar semua armada kapal
yang mereka miliki.
Pasukannya kaget. Mereka bertanya, “Apa maksud
Anda?” “Kalau kapal-kapal itu dibakar, bagaimana nanti kita bisa pulang?” tanya
yang lain.
Dengan pedang terhunus dan kalimat tegas, Thariq
berkata, “Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya memiliki dua
pilihan: menaklukkan negeri ini lalu tinggal di sini atau kita semua binasa!”
Kini pasukannya paham. Mereka menyambut panggilan
jihad Panglima Perang mereka itu dengan semangat berkobar.
Lalu Thariq melanjutkan briefingnya. “Wahai
seluruh pasukan, kalau sudah begini ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang
kalian ada laut dan di depan kalian ada musuh. Demi Allah swt., satu-satunya
milik kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran. Hanya itu yang dapat
kalian andalkan.
Musuh dengan jumlah pasukan yang besar dan
persenjataan yang lengkap telah siap menyongsong kalian. Sementara senjata
kalian hanyalah pedang. Kalian akan terbantu jika kalian berhasil merebut
senjata dan perlengkapan musuh kalian. Karena itu, secepatnya kalian harus bisa
melumpuhkan mereka. Sebab kalau tidak, kalian akan menemukan kesulitan besar.
Itulah sebabnya kalian harus lebih dahulu menyerang mereka agar kekuatan mereka
lumpuh. Dengan demikian semangat juang kita akan bangkit.
Musuh kalian itu sudah bertekad bulat akan
mempertahankan negeri mereka sampai titik darah penghabisan. Kenapa kita juga
tidak bertekad bulan untuk menyerang mereka hingga mati syahid? Saya sama
sekali tidka bermaksud menakut-nakuti kalian. Tetapi marilah kita galang rasa
saling percaya di antara kita dan kita galang keberanian yang merupakan salah
satu modal utama perjuangan kita.
Kita harus bahu membahu. Sesungguhnya saya tahu
kalian telah membulatkan tekad serta semangat sebagai pejuang-pejuang agama dan
bangsa. Untuk itu kelak kalian akan menikmati kesenangan hidup, disamping itu
kalian juga memperoleh balasan pahala yang agung dari Allah swt. Hal itu karena
kalian telah mau menegakkan kalimat-Nya dan membela agama-Nya.
Percayalah,
sesungguhnya Allah swt. adalah penolong utama kalian. Dan sayalah orang pertama
yang akan memenuhi seruan ini di hadapan kalian. Saya akan hadapi sendiri Raja
Roderick yang sombong itu. Mudah-mudahan saya bisa membunuhnya. Namun, jika ada
kesempatan, kalian boleh saja membunuhnya mendahului saya. Sebab dengan
membunuh penguasa lalim itu, negeri ini dengan mudah kita kuasai. Saya yakin,
para pasukannya akan ketakutan. Dengan demikian, negeri ini akan ada di bawah
bendera Islam.”
Dalam peristiwa
pembakaran kapal terjadi perbedaan pandangan sebagian menyebutkan adanya
kejadian tersebut namun sebagian lagi menyebutkan bahwa peristiwa pembakaran
kapal kurang tepat. Salah satu yang menyangkal peristiwa pembakaran kapal
adalah Dr. Rāghib al-Sirjānī. Dia mencatat
hal-hal di bawah ini:
1.
Riwayat-riwayat tentang
pembakaran kapal oleh Thāriq tidak memiliki sanad yang shahîh dalam sejarah
Islam (al-tārīkh al-islāmī). Ilmu tentang para perawi hadîts (‘ilm al-rijāl)
dan ilmu al-jarh wa al-ta‘dīl (ilmu untuk mengoreksi dan member pandangan
“negatif” atau “positif” kepada perawi hadīts) yang menjadi kebanggaan kaum
Muslimin menegaskan bahwa riwayat yang benar harus melalui orang-orang yang
dapat dipercaya (unās mawtsūq bihim). Dan riwayat tentang “pembakaran” kapal
oleh Thāriq tidak pernah muncul dari para perawi yang benar-benar terpercaya
dalam tulisan sejarah mereka. Namun, cerita itu sampai kepada kita melalui
sumber-sumber dan riwayat Eropa yang ditulis tentang pertempuran Wādī Barbāth.
2.
Jika benar terjadi
“pembakaran” kapal oleh Thāriq, dipastikan akan muncul reaksi dari Mūsā ibn
Nushayr atau al-Walīd ibn ‘Abd al-Malik sebagai bentuk “klarifikasi” terhadap
peristiwa tersebut. Atau, akan terjadi semacam dialog antara Mûsā ibn Nushayr
dengan Thāriq tentang masalah ini. Atau, akan muncul komentar dari para ulama
Muslimin tentang pembolehan pembakaran kapal. Tapi anehnya, tidak ada satu pun
bentuk reaksi dari itu semua. Ini menegaskan bahwa peristiwa tersebut patut
diragukan.
3.
Alasan sumber-sumber Eropa
menyebarkan cerita “pembakaran” kapal, karena mereka tidak mampu menafsirkan
bagaimana personil Thāriq yang berjumlah 12.000 orang “pejalan kaki” dapat
mengalahkan pasukan Goth yang Kristen yang berjumlah 100.000 orang “berkuda”.
Dan mereka di kalangan di ‘kandang’ mereka sendiri. Nah, untuk mendapatkan
penafsiran yang memuaskan, mereka mengatakan: “Thāriq ibn Ziyād membakar
kapal-kapal, agar dia dapat memaksa kaum Muslimin pada dua pilihan: tenggelam
di laut yang ada di belakang mereka, atau memilih kalah dan hancur-lebur di
tangan orang-orang Kristen yang menanti di hadapan mereka. Dan keduanya pasti
berujung pada kematian. Dari sana, maka solusi satu-satunya adalah: berjuang mati-matian,
agar dapat melarikan diri dari kematian yang telah mengitari mereka dari setiap
penjuru. Dan hasilnya sudah jelas: “kemenangan” (al-intishār). Seandainya
mereka dapat melarikan diri, niscaya mereka menaiki perahu-perahu mereka untuk
‘pulkam’ (kembali ke negerinya masing-masing).”
Begitulah orang-orang Eropa-Kristen menafsirkan
rahasia besar – menurut pengakuan mereka – kemenangan kaum Muslimin di Lembah
Barbāth. Tentu saja pandangan mereka ini dapat “dimaklumi”, karena mereka tidak
memahami kaidah yang sangat masyhur bagi kaum Muslimin dan termaktub di dalam
Kitābullāh (Al-Qur’an), yang menyatakan, “Berapa banyak kelompok kecil mampu
memporak-porandakan kelompok besar atas izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs.
Al-Baqarah (2): 249).
Dan,
memang, siapa saja yang dapat membaca lembaran sejarah umat Islam, niscaya akan
mengerti bahwa: jumlah kaum Muslimin dalam setiap pertempuran adalah “sedikit”.
Padahal jumlah musuh mereka berlipat-ganda. Dan anehnya, setiap kali jumlah
kaum Muslimin “lebih banyak”, dipastikan mereka selalu tertipu – dengan
banyaknya jumlah – dan akhirnya mengalami kekalahan. Ini terjadi,
misalnya, pada perang Hunayn. Coba perhatikan Firman Allah di bawah ini:
“…dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu
menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak
memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit
olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (Qs. Al-Tawbah
(9): 25).
Dari sana, atas kebodohan dan niat yang tidak baik
dari orang Eropa, mereka membuat penafsiran tersebut dan alasan yang meragukan
(hujjah wāhiyah), agar mereka dapat menyatakan bahwa: “Kaum Kristen tidak
pernah kalah, jika jumlah orang yang bertempur seimbang. Dan kaum Muslimin tidak pernah menang kecuali
dalam kondisi yang sangat khusus.”
4.
Kapan kaum Muslimin butuh
kepada “semangat” yang membara sampai harus membakar kapal-kapal? Lalu apa yang mereka lakukan dalam kondisi
seperti itu (perang) – dan kondisi perang seperti ini sangat banyak – jika
tidak ada laut dan tidak ada kapal? Sejatinya, kaum Muslimin datang ke
Andalusia karena mereka cinta Jihad: ingin mati di jalan Allah. Jadi, mereka
tidak butuh kepada satu jendral yang membakar semangat mereka untuk membakar kapal-kapal.
Meskipun hal itu boleh-boleh saja dilakukan, jika dikaitkan dengan hak selain
mereka.
5.
Tidak mungkin seorang pemimpin yang luar biasa
seperti Thāriq berani membakar kapal-kapal dan “memutus” jalan kembali dari
para tentaranya. Bagaimana jika kaum Muslimin yang kalah dalam peperangan
tersebut. Dan kalah-menang dalam sebuah pertempurana adalah hal yang alami
sekali. Bukankah kondisinya akan berbalik kepada mereka, apalagi mereka sangat
memahami hakikat Firman Allah berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok
untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Qs.
Al-Anfāl (8): 15-16).
Jadi, tetap
ada kemungkinan bagi kaum Muslimin untuk lari dari medang perang. Apakah karena
melakukan siasat perang (mutaharrif) atau menggabungkan diri (tahayyuz) dengan
pasukan kaum Muslimin yang lain. Dan ketika itu, kaum Muslimin berada di
Maroko, sebelah selatan Afrika. Nah, bagaimana mungkin Thāriq “memotong” jalan
untuk melakukan sisat perang dan bersiap untuk melakukan perang yang baru.
Atau, dia memotong jalan untuk bergabung kepada kelompok kaum Muslimin lainnya?
Jadi, peristiwa pembakaran kapal merupakan lompatan hukum syariat yang sangat
besar, yang tidak mungkin dilakukan oleh orang sekelas Thāriq ibn Ziyād –
rahimahullāh, dan tidak mungkin para ulama Muslim dan pemerintah mereka berdiam
diri, jika benar cerita tersebut terjadi dan nyata.
6.
Terakhir, sejatinya Thāriq tidak memiliki
kapal-kapal tersebut (yang diceritakan dibakar). Karena sebagian riwayat
menyebutkan bahwa Julian, penguasa Ceuta (dalam bahasa Spanyol, dalam bahasa Arab
dikenal dengan nama Sabtah menyewakan
kapal-kapal tersebut kepada Thāriq untuk menyebrang. Dan akan dikembalikan
kembali kepada Julian, usai pemakaiannya. Kemudian, Julian membawa kapalnya
menyebrang ke Andalusia. Maka, Thāriq tidak berhak untuk “membakar”
kapal-kapal tersebut.
5. Pertempuran Pasukan Thariq Bin Ziyad Dengan Pasukan Roderick
Dari gunung
thariq , Thariq bin ziyad berpindah menuju kawasan yang luas bernama jazirah
Al-Khandra disana ia berhadapan dengan pasukan selatan andalusia yang merupakan
pelindung pasukan kristen di wilayah tersebut.Mendengar pasukan Thariq telah maju, Raja Roderick –yang
saat itu berada di utara-,pada mulanya ia tidak melakukan persiapan apapun
unutk menghadapi hal itu, karena ia berkeyakinan bahwa itu merupakan hal yang
tidak lama kemudian akan hilang. Namun ketika kabar pergerakan kaum muslimin hingga
ke cordova,ia pun bergerak ke toledo untuk mempersiapkan bala tentaranya dan
mengirimkan kekuatan militernya yang dipimpin oleh keponakannya,Vinceu, yang
juga merupakan perwira utamanya,untuk menghadapi kaum muslimin. Namun dalam
setiap pertempuran pasukan muslim selalu menang. Mendengar hal itu raja Roderic
mempersiapkan 100.000 tentara dengan
persenjataan lengkap. Ia memimpin langsung pasukannya itu dari arah utara
menuju selatan untuk menghadapi pasukan muslimin. Sementara Thariq bin ziyad
hanya membawa 7000 pasukan, maka ketika melihat fakta kekuatan roderic ia
menemukan bahwa akan sulit menghadapi mereka dan akhirnya ia meminta bantuan
kepada Musha bin nushair.Musa bin Nusair mengirim bantuan kepada Thariq hanya
dengan 5.000 orang. Sehingga total pasukan Thariq hanya 12.000 orang.
Ahad, 28
Ramadhan 92 H atau 19 Juli 711 M, kedua pasukan bertemu dan bertempur di muara
Sungai Barbate.selama delapan hari berturut-turut, roda pertempuran itu
berputar.gelombang pasukan kristen terus mengalir menghantam pasukan kaum
muslimin,sementara Pasukan muslimin tetap
bersabar menghadapinya.
Ibnu Adzari
menggambarkan kondisi pasukan kaum muslimin saat mereka tenggelam dalam lautan
pertempuran yang hebat dengan mengatakan “ Thariqpun keluar menghadapi
mereka dengan semua pasukan pejalan kakinya, tidak ada yang menunggang kuda
kecuali sedikit saja. Merekapun bertempur dengan hebatnya sampai-sampai mereka
mengira itulah akhir dari segalanya.”
Situasi ini
berlangsung selama delapan hari yang kemudian dimenangkan oleh pasukan
muslimin,setelah Allah memastikan kesabaran dan kejujuran mereka. Adapun
Roderic konon tewas terbunuh, namun dalam riwayat lain ia melarikan diri ke
arah utara yang pasti namanya tidak pernah lagi disebut untuk selamanya.
Kaum muslim berhasil mendapatkan harta rampasan
yang sangat besar, diantaranya adalah kuda-kuda sehingga merekapun menjadi
pasukan berkuda setelah sebelumnya
mereka hanya pasukan pejalan kaki. Kkaum muslimin memulai peperangan
dengan jumlah 12000 orang lalu perang itu berakhir dengan 9000 orang. Yang
artinya bahwa ada 3000 orang syuhada
yang menyirami bumi andalusia dengan darah mereka.
6. Penaklukan seluruh spanyol
Setahun
kemudian, Rabu, 16 Ramadhan 93 H, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000
pasukan menyusul Thariq. Dalam perjalanan ia berhasil menaklukkan Merida,
Sionia, dan Sevilla. Sementara pasukan Thariq membagi pasukannya untuk
menaklukkan Cordova, Granada, dan Malaga. Ia sendiri membawa sebagian
pasukannya menaklukkan Toledo, ibukota Spanyol saat itu. Semua ditaklukkan
tanpa perlawanan.
Pasukan Musa
dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya bergabung untuk menaklukkan
Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah Pyrenies, Perancis. Hanya
dalam waktu 3,5 mulai tahun 92 H sampai
akhir tahun 95 H. seluruh daratan Spanyol berhasil dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan
dan mereka ganti namanya dengan Al-Gharb (Barat).
Sungguh itu
keberhasilan yang luar biasa. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad berencana
membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu
itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghadapi mereka. Namun, niat itu tidak terealisasi karena
Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq
pulang terlebih dahulu sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di
Spanyol.
7. Akhir Hidup Sang Panglima Islam
Setelah bertemu
Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah Swt. tidak kembali ke Eropa. Ia
sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya. Thariq bin Ziyad adalah Pejuang Islam
yang berjihad karena Allah Swt tanpa menginginkan adanya posisi/jabatan dalam
pemerintahan tetapi mengharapkan ridho Allah Swt dan Tegaknya Syiar Islam,
Thariq bin Ziyad telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli
Afrika Utara, muslim yang menaklukkan daratan Eropa.
C.
PENGAJARAN (IBRAH)
1. Spritualitas keimanan yang mendalam. Pasukan Islam meyakini,
berjihad tak mengenal batasan usia dan waktu perang. Ketika perang menaklukan
Andalusia, pasukan Thariq bin Ziyad sedang menjalani puasa Ramadhan.
2. Pemimpin harus mampu mengobarkan semangat jihad pada pasukannya
3. Pentingnya perencanaan (strategi) terhadap pencapaian tujuan,
Thariq telah melakukan perencanaan yang matang sebelum misi tersebut
dilaksanakan.
4. Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwasanya dalam mengarungi
kehidupan kita tidak boleh lari dari masalah meskipun masalah yang dihadapinya
adalah masalah yang besar seperti yang dihadapi thariq bin ziyad dalam
menghadapi pasukan yang jumlahnya berlipat-lipat dari pasukannya.
D.
KESIMPULAN
Thariq bin Ziyad, seorang panglima perang dari suku
Barbar di Afrika. Pertemuan dengan dakwah Islam membawanya ke medan perang,
menghabiskan hidup bersama jihad fisabilillah. Dengan kecemerlangannya sebagai
komandan perang ia berhasil menaklukan andalusia. Thariq berhasil mengalahkah
penguasa yang lalim di andalusia dengan pasukan yang jumlahnya berkali lipat
dari jumlah passukannya.
Keberhasilan Thariq bin Ziyad memasuki Andalusia
membuat peta perjalanan sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu
wilayah yang dilewatinya dapat dengan mudah jatuh ke tangannya, seperti kota
Cordova, Granada, dan Toledo. Sehingga Islam dapat tersebar dan menjadi agama
panutan bagi penduduknya, walaupun tidak semua penduduk Andalusia masuk Islam.
Tidak hanya itu, Islam menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para
pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Andalusia pun mencapai kejayaan pada
masa pemerintahan Islam.
E.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.voa-islam.com/read/mujahid/2012/09/28/20898/kisah-ksatria-thariq-bin-ziyad-saat-menaklukkan-andalusia/;#.Uo2PDieImN0
http://id.wikipedia.org/wiki/Penaklukan_Umayyah_di_Hispania
http://sukmarahayu.blogspot.com/2012/12/islam-di-spanyol.html
http://www.hidayatullah.com/read/2013/11/05/7157/pentingnya-meneladani-spirit-panglima-thariq-bin-ziyad.html
As-Sirjani,DR.Raghib,Bangkit Dan Runtuhnya
Andalusia,Penerjemah :Muhammad Ihsan,Lc &Abdul Rasyad
Syiddiq,Lc-Cet-1-Jakarta Pusat Al-Kausar,2013